PERJUANGAN
MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN SECARA DEPLOMASI
Di
S
U
S
U
N
Oleh :
Arcon Marsila Ismail
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
SERAMBI MEKKAH
BANDA
ACEH 2014
KATA
PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kesehatan dan kesempatan kepada kita
semua sehingga pembuatan makalah ini bisa diselesaikan tepat pada waktunya.
Shalawat dan salam kita persembahkan kepada junjungan kita Muhammad SAW, oleh
karena beliaulah kita dapat mengenal ilmu pengetahuan dan memberantas
kebodohan.
Selanjutnya
ucapan terima kasih dan penghargaan pemakalah sampaikan kepada pembimbing kita dan
kepada seluruh sahabat-sahabat seperjuangan yang telah memabntu kami dalam menyelesaikan
makalah ini yang berjedul ‘ PERJUANGAN
MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN SECARA DEPLOMASI’
Kami
menyadari berbagai kelemahan, kekurangan dan keterbatasan yang ada, sehingga
tetap terbuka kemungkinan terjadinya kekeliruan dan kekurangan disana sini
dalam penulisan dan penyajian makalah ini. Oleh Karena itu, dengan tangan
terbuka, seraya kasih, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
konstruktif dari para pembaca dalam rangka penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya,
kepada Allah jualah kami menyerahkan diri dan memohon taufik hidayah-Nya,
semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca. Amin.
Banda Aceh
Arcon Marsila Ismail
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR............................................................................ i
DAFTAR
ISI.......................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah....................................................................... 1
C. Tujuan.......................................................................................... 1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Mencari Dukungan Internasional................................................
B. Perundingan Dengan Belanda.................................................... 2
C. Pengakuan Kedaulatan...............................................................
BAB III PENUTUP
Kesimpulan.............................................................................................. 10
DAFTAR
PUSATAKA.......................................................................... 11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945 bukanlah akhir perjuangan bangsa Indonesia. Akan tetapi, ia adalah
awal perjuangan baru bangsa ini dalam membangun sebuah tatanan berbangsa dan
bernegara. Sebuah negara berdiri bukan hanya berdasarkan wilayah, namun juga
membutuhkan perangkat pemerintahan, dan yang terpenting adalah pengakuan
kedaulatan dari negara lain. Karena pada hakikatnya (seperti halnya manusia
sebagai makhluk sosial), dalam kehidupan bernegara juga membutuhkan negara lain
agar bangsa dan negara ini dapat bergaul dan tidak terkucilkan dalam hubungan
internasional. Pasca proklamasi, Indonesia berupaya untuk mempertahankan
kedaulatan sebagai bangsa yang merdeka. Indonesia coba membuktikan bahwa
proklamasi yang telah dilakukan bukanlah isapan jempol semata, akan tetapi
merupakan cita-cita yang akan dibuktikan dengan realita. Tribulasi pasca
proklamasi berkutat dalam upaya diplomasi.
B. Rumusan Masalah
v Apakah yang di maksud dengan
perjuangan Deplomasi ?
v Apasaja yang dibahas dalam
perudingan Belanda dan Indonesia ?
v Bagai mana Indonesia mencari
dukungan internasional ?
C. Tujuan
v Mengetahui apa itu
perjuangan Deplomasi.
v Mengetahui diplomasi pasca
kemerdekaan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Mencari
Dukungan Internasional
Perjuangan mempertahan
kemerdekaan dilakukan melalui perjuangan fisik (perang) dan juga dengan
perjuangan diplomasi (melalui perundingan) dan mencari dukungan internasional.
Perjuangan mencari dukungan internasional dilakukan baik secara langsung maupun
tidak langsung. Tindakan langsung dilakukan dengan mengemukakan masalah
Indonesia di hadapan sidang Dewan Keamanan PBB. Tindakan tidak langsung
dilakukan melalui pendekatan dan hubungan baik dengan negara-negara yang akan
mendukung Indonesia dalam sidang-sidang PBB. Negara-negara yang mendukung
Indonesia antara lain sebagai berikut :
a) Australia bersedia
menjadi anggota Komisi Tiga Negara. Australia juga mendesak Belanda agar
menghentikan operasi militernya di Indonesia. Australia berperan dalam
membentuk opini dunia internasional untuk mendukung Indonesia dalam sidang
Dewan Keamanan PBB.
b) India merupakan
salah satu negara yang mengakui kedaulatan Indonesia dalam forum internasional.
India juga mempelopori Konferensi Inter-Asia untuk mengumpulkan dukungan bagi
Indonesia.
c) Negara Mesir, Lebanon, Suriah, dan Saudi Arabia mengakui kedaulatan Indonesia. Pengakuan ini
mempengaruhi pandangan internasional terhadap Indonesia.
d) Resolusi DK PBB (28
Januari 1949) Berkaitan dengan agresi militer Belanda II, pada tanggal 28
Januari 1949, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan sebuah resolusi.
B.
Perundingan
Dengan Belanda
a.Permulaan
perundingan dengan Belanda (10 Februari 1946)
Serangkaian perundingan pendahuluan di lakukan. Archibald Clark Kerr dan Lord Killearn dari Inggris
bertindak sebagai penengah. Perundingan dimulai pada tanggal 10 Februari 1946.
Pada awal perundingan, H.J. van
Mook menyampaikan pernyataan politik pemerintah Belanda.
b.
Perundingan di Hooge Veluwe (14–25 April 1946)
Perundingan dilakukan di Hooge Veluwe negeri
Belanda pada tanggal 14 – 25 April 1946. Perundingan mengalami kegagalan.
c.
Perundingan gencatan senjata (20–30 September 1946)
Perundingan dilaksanakan dari tanggal 20 – 30
September 1946. Perundingan tidak mencapai hasil yang diinginkan.
d.
Perundingan RI dan Belanda (7 Oktober 1946)
Perundingan berlangsung di rumah Konsul Jenderal
Inggris di Jakarta pada tanggal 7 Oktober 1946. Delegasi Indonesia diketuai
Perdana Menteri Sutan Syahrir.
e.
Perundingan Linggarjati (10 November 1946)
Sebagai kelanjutan perundingan-perundingan sebelumnya,
sejak tanggal 10 November 1946 di Linggarjati di Cirebon, dilangsungkan
perundingan antara Pemerintah RI dan komisi umum Belanda.
f.
Melibatkan Komisi Tiga Negara
Pada tanggal 18 September 1947, Dewan Keamanan PBB
membentuk sebuah Komisi Jasa Baik. Komisi ini kemudian terkenal dengan sebutan
Komisi Tiga Negara. Anggota KTN terdiri dari Richard Kirby (wakil
Australia), Paul van Zeeland (wakil
Belgia), dan Frank Graham (wakil
Amerika Serikat). Dalam pertemuannya pada tanggal 20 Oktober 1947, KTN
memutuskan bahwa tugas KTN di Indonesia adalah untuk membantu menyelesaikan
sengketa antara RI dan Belanda dengan cara damai. Pada tanggal 27 Oktober 1947,
KTN tiba di Jakarta untuk memulai pekerjaannya.
g.
Perjanjian Renville (8 Desember 1947 – 17 Januari 1948)
KTN berusaha mendekatkan RI dan Belanda untuk
berunding. Atas usul KTN, perundingan dilakukandi tempat yang netral, yaitu di
atas kapal pengangkut pasukan Angkatan Laut Amerika Serikat “USS Renville”. Oleh
karena itu, perundingan tersebut dinamakan Perjanjian Renville.
Perjanjian
Renville dimulai pada tanggal 8 Desember 1947. Hasil perundingan Renville
disepakati dan ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948.
h.
Resolusi DK PBB (28 Januari 1949)
Berkaitan
dengan agresi militer Belanda II, pada tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan
PBB mengeluarkan sebuah resolusi.
i.
Perjanjian Roem-Royen (17 April – 7 Mei 1949)
Sejalan dengan perlawanan gerilya di Jawa dan Sumatra
yang semakin meluas, usaha-usaha di bidang diplomasi berjalan terus. UNCI
mengadakan perundingan dengan pemimpin-pemimpin RI di Bangka.
j. Konferensi
Inter-Indonesia (19 -22 Juli 1949 dan 31 Juli – 2 Agustus 1949)
Sebelum Konferensi Meja Bundar berlangsung, dilakukan
pendekatan dan koordinasi dengan negara- negara bagian (BFO) terutama berkaitan
dengan pembentukan Republik Indonesia Serikat. Konferensi Inter-Indonesia ini
penting untuk menciptakan kesamaan pandangan menghadapi Belanda dalam KMB.
Konferensi diadakan setelah para pemimpin RI kembali ke Yogyakarta.
k.
Konferensi Meja Bundar (23 Agustus 1949 – 2 November 1949)
Konferensi Meja Bundar (KMB) diadakan di Ridderzaal,
Den Haag, Belanda. Konferensi dibuka pada tanggal 23 Agustus 1949.
C.
Pengakuan Kedaulatan
Upacara penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan
dilakukan pada waktu yang bersamaan di Indonesia dan di negeri Belanda,
yaitu pada tanggal 27 Desember 1949. Di negeri Belanda, penandatanganan naskah pengakuan
kedaulatan dilaksanakan di ruang takhta Istana Kerajaan Belanda. Ratu Juliana, P.M. Dr. Willem Drees, Menteri
Seberang Lautan Mr. A.M.J.A.
Sassen, dan Mohammad
Hatta membubuhkan tanda tangan pada naskah pengakuan kedaulatan. Sementara itu, di
Jakarta, Sultan Hamengkubuwono IX dan A.H.J. Lovink (Wakil Tinggi
Mahkota) membubuhkan tanda tangan pada naskah pengakuan kedaulatan. Pada
tanggal yang sama, di Yogyakarta dilakukan penyerahan kedaulatan dari Republik
Indonesia kepada Republik Indonesia Serikat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Setelah
Indonesia telah nerdeka ternyata perjuangan nya masih belum berhenti. Bangsa
Indonesia masih harus berjuang mempertahankannya yaitu dengan cara perang,perundingan
dan mencari dukungan di Negara lain. Khususnya untuk mempertahankan proklamasi
dengan diplomasi ini dilakukan perundingan-perundingan sehingga menciptakan
kebijakan baru yang berpengaruh pada bangsa Indonesia. Contoh-contoh
perundingan tersebut ialah: Perundingan Linggarjati, Perjanjian Renville,
Persetujuan Roem-Royen, Konferensi Inter-Indonesia, dan Konferensi Meja Bundar.
Mencari
dukungan internasional: Perjuangan
mencari dukungan internasional lewat PBB dilakukan baik secara langsung maupun
tidak langsung. Tindakan langsung dilakukan dengan mengemukakan masalah
Indonesia di hadapan sidang Dewan Keamanan PBB. Tindakan tidak langsung
dilakukan melalui pendekatan dan hubungan baik dengan negara-negara yang akan
mendukung Indonesia dalam sidang-sidang PBB.
DFTAR PUSTAKA
Soebadio,
Haryati. 2002. Sejarah Awal. Indonesia Heritage.
Jakarta: PT. Jakarta Agung Offset.
Htp/Geogle.Sejarah
Indonesia Masa Deplomasi Kemerdekaan.com
Perjuangan
Diplomasi
Perjuangan bangsa Indonesia untuk
mempertahankan kemerdekaan juga dilakukan di meja perundingan atau perjuangan
diplomasi. Perjuangan diplomasi dilakukan, misalnya dengan mencari dukungan
dunia internasional dan berunding langsung dengan Belanda.
A. Mencari
dukungan internasional
Perjuangan mencari dukungan internasional
lewat PBB dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Tindakan
langsung dilakukan dengan mengemukakan masalah Indonesia di hadapan sidang
Dewan Keamanan PBB. Tindakan tidak langsung dilakukan melalui pendekatan dan
hubungan baik dengan negara-negara yang akan mendukung Indonesia dalam
sidang-sidang PBB. Negara-negara yang mendukung Indonesia antara lain sebagai
berikut.
Australia
Australia bersedia menjadi anggota
Komisi Tiga Negara. Australia juga mendesak Belanda agar menghentikan operasi militernya
di Indonesia. Australia berperan dalam membentuk opini dunia internasional
untuk mendukung Indonesia dalam sidang Dewan Keamanan PBB.
India
India merupakan salah satu negara yang
mengakui kedaulatan Indonesia dalam forum internasional. India juga mempelopori
Konferensi Inter-Asia untuk mengumpulkan dukungan bagi Indonesia. Konferensi
Inter-Asia dilaksanakan pada tahun 1949.
Negara-negara Liga Arab
Negara Mesir, Lebanon, Suriah, dan Saudi
Arabia mengakui kedaulatan Indonesia. Pengakuan ini mempengaruhi pandangan
internasional terhadap Indonesia.
Negara-negara anggota Dewan Keamanan PBB
Para tokoh politik Indonesia mengadakan
pendekatan dengan negara-negara anggota Dewan Keamanan PBB. Pendekatan yang
dilakukan Sutan Syahrir dan Haji Agus Salim dalam sidang Dewan Keamanan PBB
pada bulan Agustus 1947 berhasil mempengaruhi negaranegara anggota Dewan
Keamanan PBB untuk mendukung Indonesia.
B.
Berunding dengan Belanda
Indonesia juga mengadakan perundingan
langsung dengan Belanda. Berbagai perundingan yang pernah dilakukan untuk
menyelesaikan konflik Indonesia- Belanda misalnya: Perundingan Linggarjati,
Perjanjian Renville, Persetujuan Roem-Royen, Konferensi Inter-Indonesia, dan
Konferensi Meja Bundar.
a.
Permulaan perundingan-perundingan dengan Belanda (10 Februari 1946)
Panglima AFNEI (Letnan Jenderal
Christison) memprakarsai pertemuan Pemerintah RI dengan Belanda untuk
menyelesaikan pertikaian Belanda dan RI. Serangkaian perundingan pendahuluan di
lakukan. Archibald
Clark Kerr dan Lord Killearn dari Inggris bertindak sebagai penengah. Perundingan
dimulai pada tanggal 10 Februari 1946. Pada awal perundingan, H.J. van Mook menyampaikan pernyataan politik pemerintah Belanda.
Kemudian pada tanggal 12 Maret 1946, pemerintah Republik Indonesia menyampaikan
pernyataan balasan.
b.
Perundingan di Hooge Veluwe (14–25 April 1946)
Setelah beberapa kali diadakan pertemuan
pendahuluan, diselenggarakanlah perundingan resmi antara pemerintah Belanda
dengan Pemerintah RI untuk menyelesaikan konflik. Perundingan dilakukan di Hooge Veluwe negeri Belanda pada tanggal 14 – 25 April 1946.
Perundingan mengalami kegagalan.
c.
Perundingan gencatan senjata (20–30 September 1946)
Banyaknya insiden pertempuran antara
pejuang Indonesia dengan pasukan Sekutu dan Belanda mendorong diadakannya
perundingan gencatan senjata. Perundingan diikuti wakil dari Indonesia,Sekutu,
dan Belanda. Perundingan dilaksanakan dari tanggal 20 – 30 September 1946.
Perundingan tidak mencapai hasil yang diinginkan.
d.
Perundingan RI dan Belanda (7 Oktober 1946)
Lord Killearn berhasil membawa
wakil-wakil Pemerintah Indonesia dan Belanda ke meja perundingan. Perundingan
berlangsung di rumah Konsul Jenderal Inggris di Jakarta pada tanggal 7 Oktober
1946. Delegasi Indonesia diketuai Perdana Menteri Sutan Syahrir. Delegasi
Belanda diketuai oleh Prof. Schermerhorn. Dalam perundingan tersebut, masalah
gencatan senjata yang gagal perundingan tanggal 30 September 1946 disetujui
untuk dibicarakan lagi dalam tingkat panitia yang diketuai Lord Killearn.
Perundingan tingkat panitia menghasilkan
persetujuan gencatan senjata sebagai berikut.
·
Gencatan senjata diadakan atas dasar
kedudukan militer pada waktu itu dan atas dasar kekuatan militer Sekutu serta
Indonesia.
·
Dibentuk sebuah Komisi Bersama Gencatan
Senjata untuk masalah-masalah teknis pelaksanaan gencatan senjata.
Di bidang politik, delegasi Pemerintah
Indonesia dan komisi umum Belanda sepakat untuk
menyelenggarakan perundingan politik
“secepat mungkin”.
e.
Perundingan Linggarjati (10 November 1946)
Sebagai kelanjutan
perundingan-perundingan sebelumnya, sejak tanggal 10 November 1946 di
Linggarjati di Cirebon, dilangsungkan perundingan antara Pemerintah RI dan
komisi umum Belanda. Perundingan di Linggarjati dihadiri oleh beberapa tokoh
juru runding, antara lain sebagai berikut:
·
Inggris, sebagai pihak penengah diwakili
olehLord Killearn.
·
Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir
(Ketua), Mohammad Roem (anggota), Mr. Susanto Tirtoprojo, S.H. (anggota), Dr.
A.K Gani (anggota).
·
Belanda, diwakili Prof. Schermerhorn
(Ketua), De Boer (anggota), dan Van Pool (anggota).
Perundingan di Linggarjati tersebut
menghasilkan keputusan yang disebut perjanjian Linggarjati. Berikut ini adalah
isi Perjanjian Linggarjati.
·
Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan meliputi
Sumatera, Jawa, dan Madura. Belanda sudah harusmeninggalkan daerah de facto paling lambat pada tanggal 1 Januari 1949.
·
Republik Indonesia dan Belanda akan
bekerja sama dalam membentuk negara Serikat dengan nama RIS. Negara Indonesia
Serikat akan terdiri dari RI, Kalimantan dan Timur Besar. Pembentukan RIS akan
diadakan sebelum tanggal 1 Januari 1949.
·
RIS dan Belanda akan membentuk Uni
Indonesia- Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketua. Perjanjian Linggarjati
ditandatangani oleh Belanda dan Indonesia pada tanggal 25 Maret 1947 dalam
suatu upacara kenegaraan di Istana Negara Jakarta.
Perjanjian Linggarjati bagi Indonesia
ada segi positif dan negatifnya.
·
Segi positifnya ialah adanya pengakuan de facto atas RI yang meliputi Jawa, Madura, dan Sumatera.
·
Segi negatifnya ialah bahwa wilayah RI
dari Sabang sampai Merauke, yang seluas Hindia Belanda dulu tidak tercapai.
f.
Melibatkan Komisi Tiga Negara
Pada tanggal 18 September 1947, Dewan
Keamanan PBB membentuk sebuah Komisi Jasa Baik. Komisi ini kemudian terkenal
dengan sebutan Komisi Tiga Negara. Anggota KTN terdiri dari Richard Kirby (wakil Australia), Paul van Zeeland (wakil Belgia), dan Frank Graham (wakil Amerika Serikat). Dalam pertemuannya pada
tanggal 20 Oktober 1947, KTN memutuskan bahwa tugas KTN di Indonesia adalah
untuk membantu menyelesaikan sengketa antara RI dan Belanda dengan cara damai.
Pada tanggal 27 Oktober 1947, KTN tiba di Jakarta untuk memulai pekerjaannya.
g.
Perjanjian Renville (8 Desember 1947 – 17 Januari 1948)
KTN berusaha mendekatkan RI dan Belanda
untuk berunding. Atas usul KTN, perundingan dilakukandi tempat yang netral,
yaitu di atas kapal pengangkut pasukan Angkatan Laut Amerika Serikat “USS
Renville”. Oleh karena itu, perundingan tersebut dinamakan Perjanjian Renville.
Perjanjian Renville dimulai pada tanggal
8 Desember 1947. Hasil perundingan Renville disepakati dan ditandatangani pada
tanggal 17 Januari 1948. Yang hadir pada perundingan di atas kapal Renville
ialah sebagai berikut.
·
Frank Graham (ketua), Paul van Zeeland
(anggota), dan Richard Kirby (anggota) sebagai mediator dari PBB.
·
Delegasi Indonesia Republik Indonesia
diwakili oleh Amir Syarifuddin (ketua), Ali Sastroamidjojo (anggota), Haji Agus
Salim (anggota), Dr. J. Leimena (anggota), Dr. Coa Tik Ien (anggota), dan
Nasrun (anggota).
·
Delegasi Belanda Belanda diwakili oleh
R. Abdulkadir Wijoyoatmojo (ketua), Mr. H.A.L. van Vredenburgh (anggota), Dr.
P. J. Koets (anggota), dan Mr. Dr. Chr. Soumokil (anggota).
Perjanjian Renville menghasilkan
beberapa keputusan sebagai berikut.
·
Penghentian tembak-menembak.
·
Daerah-daerah di belakang garis van Mook
harus dikosongkan dari pasukan RI.
·
Belanda bebas membentuk negara-negara
federal di daerah-daerah yang didudukinya dengan melalui plebisit terlebih
dahulu.
·
Membentuk Uni Indonesia-Belanda. Negara
Indonesia Serikat yang ada di dalamnya sederajat dengan Kerajaan Belanda.
Persetujuan Renville ditandatangani oleh Amir Syarifuddin (Indonesia) dan
Abdulkadir Wijoyoatmojo (Belanda).
Perjanjian ini semakin mempersulit
posisi Indonesia karena wilayah RI semakin sempit. Kesulitan itu bertambah
setelah Belanda melakukan blockade ekonomi terhadap Indonesia.
Itulah sebabnya hasil Perjanjian
Renville mengundang reaksi keras, baik dari kalangan partai
politik maupun TNI.
·
Bagi kalangan partai politik, hasil
perundingan itu memperlihatkan kekalahan perjuangan diplomasi.
·
Bagi TNI, hasil perundingan itu
mengakibatkan harus ditinggalkannya sejumlah wilayah pertahanan yang telah
susah payah dibangun.
h.
Resolusi DK PBB (28 Januari 1949)
Berkaitan dengan agresi militer Belanda
II, pada tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan sebuah
resolusi. Isi dari resolusi itu ialah sebagai berikut.
·
Belanda harus menghentikan semua operasi
militer dan pihak Republik Indonesia diminta untuk menghentikan aktivitas
gerilya. Kedua pihak harus bekerja sama untuk mengadakan perdamaian kembali.
·
Pembebasan dengan segera dan tidak
bersyarat semua tahanan politik dalam daerah RI oleh Belanda sejak 19 Desember
1948.
·
Belanda harus memberikan kesempatan
kepada pemimpin RI untuk kembali ke Yogyakarta dengan segera. Kekuasaan
RI di daerah-daerah RI menurut batas-batas Persetujuan Renville dikembalikan
kepada RI.
·
Perundingan-perundingan akan dilakukan
dalam waktu yang secepat-cepatnya dengan dasar Persetujuan Linggarjati,
Persetujuan Renville, dan berdasarkan pembentukan suatu Pemerintah Interim
Federal paling lambat tanggal 15 Maret 1949. Pemilihan Dewan Pembuat Undang
Undang Dasar Negara Indonesia Serikat selambat-lambatnya pada tanggal 1 Juli
1949.
·
Komisi Jasa-jasa Baik (KTN) berganti
nama menjadi Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia (United Nation for Indonesia atau UNCI). UNCI bertugas untuk: membantu melancarkan
perundinganperundingan untuk mengurus pengembalian kekuasaan pemerintah RI,
mengamati pemilihan, mengajukan usul mengenai berbagai hal yang dapat membantu
tercapainya penyelesaian.
i.
Perjanjian Roem-Royen (17 April – 7 Mei 1949)
Sejalan dengan perlawanan gerilya di
Jawa dan Sumatra yang semakin meluas, usaha-usaha di bidang diplomasi berjalan
terus. UNCI mengadakan perundingan dengan pemimpin-pemimpin RI di Bangka.
Sementara itu, Dewan Keamanan PBB pada tanggal 23 Maret 1949 memerintahkan UNCI
untuk membantu pelaksanaan resolusi DK PBB pada tanggal 28 Januari 1949. UNCI
berhasil membawa Indonesia dan Belanda ke meja perundingan. Pada tanggal 17
April 1949 dimulailah perundingan pendahuluan di Jakarta. Delegasi Indonesia
dipimpin Mr.
Mohammad Roem. Delegasi Belanda
dipimpin Dr.
van Royen. Pertemuan dipimpin Merle Cohran dari UNCI yang berasal dari Amerika Serikat. Akhirnya
pada tanggal 7 Mei 1949 tercapai persetujuan. Persetujuan itu dikenal dengan
nama “Roem-Royen
Statement”. Dalam perundingan ini, setiap delegasi
mengeluarkan pernyataan sendiri-sendiri. Pernyataan delegasi Indonesia antara
lain sebagai berikut.
·
Soekarno dan Hatta dikembalikan ke
Yogyakarta.
·
Kesediaan mengadakan penghentian
tembakmenembak.
·
Kesediaan mengikuti Konferensi Meja
Bundar setelah pengembalian Pemerintah RI ke Yogyakarta.
·
Bersedia bekerja sama dalam memulihkan
perdamaian dan tertib hukum.
Sedangkan pernyataan dari pihak Belanda
adalah sebagai berikut.
·
Menghentikan gerakan militer dan
membebaskan tahanan politik.
·
Menyetujui kembalinya Pemerintahan
Republik Indonesia ke Yogyakarta.
·
Menyetujui Republik Indonesia sebagai
bagian dari negara Indonesia Serikat.
·
Berusaha menyelenggarakan Konferensi
Meja Bundar.
Pada tanggal 6 Juli 1949, Soekarno dan
Hatta dikembalikan ke Yogyakarta. Pengembalian Yogyakarta ke tangan Republik
Indonesia diikuti dengan penarikan mundur tentara Belanda dari Yogyakarta.
Tentara Belanda berhasil menduduki Yogyakarta sejak tanggal 19 Desember 1948 –
6 Juli 1949.
j.
Konferensi Inter-Indonesia (19 -22 Juli 1949 dan 31 Juli – 2 Agustus 1949)
Sebelum Konferensi Meja Bundar berlangsung,
dilakukan pendekatan dan koordinasi dengan negara- negara bagian (BFO) terutama
berkaitan dengan pembentukan Republik Indonesia Serikat. Konferensi
Inter-Indonesia ini penting untuk menciptakan kesamaan pandangan menghadapi
Belanda dalam KMB. Konferensi diadakan setelah para pemimpin RI kembali ke
Yogyakarta. Konferensi Inter-Indonesia I diadakan di Yogyakarta pada tanggal 19
– 22 Juli 1949. Konferensi Inter-Indonesia I dipimpin Mohammad Hatta. Konferensi Inter-Indonesia II diadakan di Jakarta pada
tanggal 30 Juli – 2 Agustus 1949. Konferensi Inter-Indonesia II dipimpin oleh Sultan Hamid (Ketua BFO). Pembicaraan dalam Konferensi
Inter-Indonesia hampir semuanya difokuskan pada masalah pembentukan RIS, antara
lain:
1.
masalah tata susunan dan hak Pemerintah
RIS,
2.
kerja sama antara RIS dan Belanda dalam
Perserikatan Uni.
Hasil positif Konferensi Inter-Indonesia
adalah disepakatinya beberapa hal berikut ini.
1.
Negara Indonesia Serikat yang nantinya
akan dibentuk di Indonesia bernama Republik Indonesia Serikat (RIS).
2.
Bendera kebangsaan adalah Merah Putih.
3.
Lagu kebangsaan adalah Indonesia Raya.
4.
Hari 17 Agustus adalah Hari Nasional.
Dalam bidang militer, Konferensi
Inter-Indonesia memutuskan hal-hal berikut.
1.
Angkatan Perang Republik Indonesia
Serikat (APRIS) adalah Angkatan Perang Nasional.
2.
TNI menjadi inti APRIS dan akan menerima
orang-orang Indonesia yang ada dalam KNIL dan kesatuan-kesatuan tentara Belanda
lain dengan syarat-syarat yang akan ditentukan lebih lanjut.
3.
Pertahanan negara adalah semata-mata hak
Pemerintah RIS, negara-negara bagian tidak mempunyai angkatan perang sendiri.
Kesepakatan tersebut mempunyai arti
penting sebab perpecahan yang telah dilakukan oleh Belanda sebelumnya, melalui
bentuk-bentuk negara bagian telah dihapuskan. Kesepakatan ini juga merupakan
bekal yang sangat berharga dalam menghadapi Belanda dalam
perundingan-perundingan yang akan diadakan kemudian. Pada tanggal 1 Agustus
1949, pihak Republik Indonesia dan Belanda mencapai persetujuan penghentian
tembak-menembak yang akan mulai berlaku di Jawa pada tanggal 11 Agustus dan di
Sumatera pada tanggal 15 Agustus. Tercapainya kesepakatan tersebut memungkinkan
terselenggaranya Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda.
k.
Konferensi Meja Bundar (23 Agustus 1949 – 2 November 1949)
Konferensi Meja Bundar (KMB) diadakan di
Ridderzaal, Den Haag, Belanda. Konferensi dibuka pada tanggal 23 Agustus 1949
dan dihadiri oleh:
·
Delegasi Republik Indonesia dipimpin
Mohammad Hatta,
·
Delegasi BFO dipimpin Sultan Hamid,
·
Delegasi Kerajaan Belanda dipimpin J. H.
van Maarseveen, dan
·
UNCI diketuai oleh Chritchley.
Konferensi Meja Bundar dipimpin oleh
Perdana Menteri Belanda, W.
Drees. Konferensi berlangsung dari tanggal 23
Agustus sampai dengan 2 November 1949. Dalam konferensi dibentuk tiga komisi, yaitu:
Komisi Ketatanegaraan, Komisi Keuangan, dan Komisi Militer. Kesulitan-kesulitan
yang muncul dalam perundingan adalah:
·
dari Komisi Ketatanegaraan menyangkut
pembahasan mengenai Irian Jaya,
·
dari Komisi Keuangan menyangkut
pembicaraan mengenai masalah utang.
Belanda menuntut agar Indonesia mengakui
utang terhadap Belanda yang dilakukan sampai tahun 1949. Dalam bidang militer,
tanpa ada kesulitan siding menyepakati inti angkatan perang dalam bentuk
Indonesia Serikat adalah Tentara Nasional Indonesia (TNI). Setelah penyerahan
kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat, KNIL (tentara Belanda di
Indonesia) akan dilebur ke dalam TNI. KMB dapat menghasilkan beberapa
persetujuan. Berikut ini adalah beberapa hasil dari KMB di Den Haag:
·
Belanda menyerahkan kedaulatan atas
Indonesia sepenuhnya dan tanpa syarat kepada RIS.
·
Republik Indonesia Serikat (RIS) terdiri
atas Republik Indonesia dan 15 negara federal. Corak pemerintahan RIS diatus
menurut konstitusi yang dibuat oleh delegasi RI dan BFO selama Konferensi Meja
Bundar berlangsung.
·
Melaksanakan penyerahan kedaulatan
selambat- lambatnya tanggal 30 Desember 1949.
·
Masalah Irian Jaya akan diselesaikan
dalam waktu setahun sesudah pengakuan kedaulatan.
·
Kerajaan Belanda dan RIS akan membentuk
Uni Indonesia-Belanda. Uni ini merupakan badan konstitusi bersama untuk
menyelesaikan kepentingan umum.
·
Menarik mundur pasukan Belanda dari
Indonesia dan membubarkan KNIL. Anggota KNIL boleh masuk ke dalam APRIS.
·
RIS harus membayar segala utang Belanda
yang diperbuatnya semenjak tahun 1942.
C.
Pengakuan Kedaulatan
Upacara penandatanganan naskah pengakuan
kedaulatan dilakukan pada waktu yang bersamaan di Indonesia dan di negeri
Belanda, yaitu pada tanggal 27 Desember 1949. Di negeri Belanda,
penandatanganan naskah pengakuan kedaulatan dilaksanakan di ruang takhta Istana
Kerajaan Belanda. Ratu
Juliana,P.M. Dr. Willem Drees, Menteri
Seberang Lautan Mr. A.M.J.A. Sassen, dan Mohammad
Hatta membubuhkan tanda tangan pada naskah
pengakuan kedaulatan. Sementara itu, di Jakarta, Sultan Hamengkubuwono IX dan A.H.J.
Lovink (Wakil Tinggi Mahkota) membubuhkan tanda
tangan pada naskah pengakuan kedaulatan. Pada tanggal yang sama, di Yogyakarta
dilakukan penyerahan kedaulatan dari Republik Indonesia kepada Republik
Indonesia Serikat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar