Jumat, 02 Mei 2014

Jendela Dunia Pusat Informasi





PROBLEMATIKA PEMBINAAN
NILAI MORAL
Di
S
U
S
U
N
Oleh :
Arcon Marsila Ismail
1111060046


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SERAMBI MEKKAH
BANDA ACEH 2014


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kesehatan dan kesempatan kepada kita semua sehingga pembuatan makalah ini bisa diselesaikan tepat pada waktunya. Shalawat dan salam kita persembahkan kepada junjungan kita Muhammad SAW, oleh karena beliaulah kita dapat mengenal ilmu pengetahuan dan memberantas kebodohan.
Selanjutnya ucapan terima kasih dan penghargaan pemakalah sampaikan kepada pembimbing kita dan kepada seluruh sahabat-sahabat seperjuangan yang telah memabntu kami dalam menyelesaikan makalah ini yang berjedul ‘ PROBLEMATIKA PEMBINAAN NILAI MORAL
Kami menyadari berbagai kelemahan, kekurangan dan keterbatasan yang ada, sehingga tetap terbuka kemungkinan terjadinya kekeliruan dan kekurangan disana sini dalam penulisan dan penyajian makalah ini. Oleh Karena itu, dengan tangan terbuka, seraya kasih, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca dalam rangka penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya, kepada Allah jualah kami menyerahkan diri dan memohon taufik hidayah-Nya, semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca. Amin.





Banda Aceh

Arcon Marsila Ismail




DAFTAR ISI

                                                                                          
KATA PENGANTAR............................................................................        i
DAFTAR ISI..........................................................................................        ii
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang........................................................................................        1

BAB II PEMBAHASAN
A.    Problematika Pembinaan Nilai Moral..........................................        2
B.     Manusia Dan Hukum..................................................................        3
C.     Hubungan Hukum Dan Moral....................................................        5
D.    Hakikat Nilai Moral Dalam Kehidupan Manusia........................        6

BAB III PENUTUP
Kesimpulan.............................................................................................. 10       

DAFTAR PUSATAKA..........................................................................        11










BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
            Pendidikan pada hakikatnya adalah upaya untuk menjadikan manusia berbudaya.Budaya dalam pengertian yang sangat luas mencakup segala aspek kehidupan manusia, yang dimulai dari cara berpikir,bertingkah laku sampai produk-produk berpikir manusia yang berwujud dalam bentuk benda (materil)maupun dalam bentuk sistem nilai  (in- materil). Pergaulan antar umat di dunia yang semakin intensif akan melahirkan budaya-budaya baru, baik berupa pencampuran budaya, penerimaan budaya oleh salah satu pihak atau keduanya, dominasi budaya, atau munculnya budaya baru.Keseluruhan proses ini tentu saja dipengaruhi oleh proses pendidikan di masyarakat.
Pemunculan kebudayaan baru tidak sepenuhnya memberikan efek positif terhadap perkembangan suatu bangsa, tetapi  ada juga yang berdampak negative. Untuk menghindari hal-hal negatif dari suatu kebudayaan baru, diperlukan berbagai upaya untuk mengadakan saringan kebudayaan yang dianggap paling tepat untuk diterapkan . Oleh karena , pemahaman terhadap kebudayaan menjadi penting bagi seorang pendidik agar pendidik memahami secara persis kebudayaan dan pengaruhnya terhadap perkembangan masyarakat









BAB II
PEMBAHASAN
A.    Problematika Pembinaan Nilai Moral
§  Pengaruh Kehidupan Keluarga dalam Pembinaan Nilai Moral
Persoalan merosotnya intensitas interaksi dalam keluarga, serta terputusnya komunikasi yang harmonis antara orang tua dengan anak, mengakibatkan merosotnya fungsi keluarga dalam pembinaan nilai moral anak. Keluarga bisa jadi tidak lagi menjadi tempat untuk memperjelas nilai yang harus dipegang bahkan sebaliknya menambah kebingungan nilai bagi si anak.
§  Pengaruh Teman Sebaya Terhadap Pembinaan Nilai Moral
Setiap orang yang menjadi teman anak akan menampilkan kebiasaan yang dimilikinya, pengaruh pertemanan ini akan berdampak positif jika isu dan kebiasaan teman itu positif juga, sebaliknya akan berpengaruh negatif jika sikap dan tabiat yang ditampikan memang buruk, jadi diperlukan pula pendampingan orang tua dalam tindakan anak-anaknya, terutama bagi para orang tua yang memiliki anak yang masih di bawah umur.
§  Pengaruh Figur Otoritas Terhadap Perkembangan Nilai Moral Individu
Orang dewasa mempunyai pemikiran bahwa fungsi utama dalam menjalin hubungan dengan anak-anak adalah memberi tahu sesuatu kepada mereka: memberi tahu apa yang harus mereka lakukan, kapan waktu yang tepat untuk melakukannya, di mana harus dilakukan, seberapa sering harus melakukan, dan juga kapan harus mengakhirinya. Itulah sebabnya seorang figur otoritas (bisa juga seorang public figure) sangat berpengaruh dalam perkembangan nilai moral.
§  Pengaruh Media Komunikasi Terhadap Perkembangan Nilai Moral
Setiap orang berharap pentingnya memerhatikan perkembangan nilai anak-anak. Oleh karena itu dalam media komunikasi mutakhir tentu akan mengembangkan suatu pandangan hidup yang terfokus sehingga memberikan stabilitas nilai pada anak. Namun ketika anak dipenuhi oleh kebingungan nilai, maka institusi pendidikan perlu mengupayakan jalan keluar bagi peserta didiknya dengan pendekatan klarifikasi nilai.

§  Pengaruh Otak atau Berpikir Terhadap Perkembangan Nilai Moral
Pendidikan tentang nilai moral yang menggunakan pendekatan berpikir dan lebih berorientasi pada upaya-upaya untuk mengklarifikasi nilai moral sangat dimungkinkan bila melihat eratnya hubungan antara berpikir dengan nilai itu sendiri, meskipun diakui bahwa ada pendekatan lain dalam pendidikan nilai yang memiliki orientasi yang berbeda.
§  Pengaruh Informasi Terhadap Perkembangan Nilai Moral
Munculnya berbagai informasi, apalagi bila informasi itu sama kuatnya maka akan mempengaruhi disonansi kognitif yang sama, misalnya saja pengaruh tuntutan teman sebaya dengan tuntutan aturan keluarga dan aturan agama akan menjadi konflik internal pada individu yang akhirnya akan menimbulkan kebingungan nilai bagi individu tersebut.[1]

B.     Manusia Dan Hukum
Hukum dalam masyarakat merupakan tuntutan, mengingat bahwa kita tidak mungkin menggambarkan hidupnya manusia tanpa atau di luar masyarakat. Maka manusia, masyarakat, dan hukum merupakan pengertian yang tidak bisa dipisahkan. Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat, diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar-manusia dalam masyarakat. Kepastian ini bukan saja agar kehidupan masyarakat menjadi teratur akan tetapi akan mempertegas lembaga-lembaga hukum mana yang melaksanakannya.Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut.[2]
Manusia dan hukum adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan dalam ilmu hukum, terdapat adagium yang terkenal yang berbunyi: “Ubi societas ibi jus” (di mana ada masyarakat di situ ada hukumnya). Artinya bahwa dalam setiap pembentukan suatu bangunan struktur sosial yang bernama masyarakat, maka selalu akan dibutuhkan bahan yang bersifat sebagai “semen perekat” atas berbagai komponen pembentuk dari masyarakat itu, dan yang berfungsi sebagai “semen perekat” tersebut adalah hukum.
Untuk mewujudkan keteraturan, maka mula-mula manusia membentuk suatu struktur tatanan (organisasi) di antara dirinya yang dikenal dengan istilah tatanan sosial (social order) yang bernama: masyarakat. Guna membangun dan mempertahankan tatanan sosial masyarakat yang teratur ini, maka manusia membutuhkan pranata pengatur yang terdiri dari dua hal: aturan (hukum) dan si pengatur(kekuasaan).

Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H.
Di dunia ini manusialah yang bekuasa.Yang mengeksploitasi dan mengeksplorasi dunia ini adalah manusia. Karena kekuasaannya itulah maka manusia merupakan pusat atau titik sentral dari keseluruhan kegiatan kehidupan manusia di dunia ini. Dengan demikian manusia merupakan subjek dan bukan objek. Sebagai subjek manusia mempunyai kepentingan di dunia ini, mempunyai tuntutan yang diharapkan untuk dipenuhi atau dilaksanakan, mempunyai kebutuhan hidup.
Sejak manusia dilahirkan sampai meninggal, sejak dulu sampai sekarang, bahkan diwaktu mendatang, dimana-mana, yang mampu maupun yang tidak mampu, manussia selalu mempunyai kepentingan, mempunyai tuntutan atau kebutuhan yang diharapkan untuk dipenuhi. Sewaktu masih bayi manusia membutuhkan air susu ibu, pakaian, kehangatan kasih sayang ibu, beranjak besar butuh bermain-main dengan teman-temannya, kemudian memerlukan sekolah, selanjutnya membutuhkan pekerjaan, pada saatnya nanti butuh kawin, sampai pada saat kematiannya ia berkepentingan untuk dimakamkan. Manusia mempunyai kepentingan untuk hidup. Dalam kenyataanya kepentingan-kepentingan manusia selama ini selalu diancam atau diganggu oleh berbagai bahaya, yang merupakan kendala untuk dapat dilaksanakan atau dipenuhinya harapannya.
Alam sering mengganggu kepentingan manusia dalam bentuk gempa bumi, banjir, lumpur panas, tsunami, tanah longsor, angin ribut. Binatang buas yang mengganggu ketenangan hidup manusia seperti kawanan kera yang merusak panen, harimau yang masuk pemukiman meresahkan penduduk. Tetapi gangguan atau bahaya terhadap kepentingan manusia itu datangnya juga dari manusia sendiri: penipuan, pencurian,  tabrak lari, perselingkuhan, perzinahan, penculikan, pembunuhan, kekerasan dan sebagainya. Oleh karena kepentingan manusia selalu           diganggu oleh bahaya disekelilingnya,  maka manusia menginginkan adanya perlindungan terhadap kepentingan-kepentingannya, jangan sampai selalu diganggu oleh pelbagai bahaya tersebut. Maka kemudian terciptalah perlindungan kepentingan berbentuk kaedah sosial termasuk di dalamnya kaedah hukum.
Kaedah sosial dengan aspek kehidupan pribadi yaitu kaedah agama dan kaedah kesusilaan, sedangkan kaedah sosial dengan aspek kehidupan antar pribadi adalah kaedah sopan santun dan kaedah hukum. Tujuan kaedah agama dan kaedah kesusilaan adalah agar manusia menjadi sempurna, agar supaya tidak ada manusia menjadi jahat. Kedua kaedah tersebut ditujukan kepada sikap batin manusia sebagai individu. Kalau kaedah sama ditujukan kepada iman, maka kaedah kesusilaan ditujukan kepada akhlak.[3]

C.     Hubungan Hukum Dan Moral
Hukum tidak akan berarti tanpa dijiwai moralitas, hukum akan kosong tanpa moralitas. Oleh karena itu kualitas hukum harus selalu diukur dengan norma moral dan perundang-undangan yang immoral harus diganti. Meskipun hubungan hukum dan moral begitu erat, namun hukum dan moral tetap berbeda, sebab dalam kenyataannya mungkin ada hukum yang bertentangan dengan moral atau ada undang-undang yang immoral, yang berarti terdapat ketidakcocokan antara hukum dengan moral.
K. Bertens menyatakan ada setidaknya empat perbedaan antara hukum dan moral, pertama, hukum lebih dikodifikasikan daripada moralitas (hukum lebih dibukukan daripada moral), kedua, meski hukum dan moral mengatur tingkah laku manusia, namun hukum membatasi diri pada tingkah laku lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut juga sikap bathin seseorang, ketiga, sanksi yang berkaitan dengan hukum berbeda dengan sanksi yang berkaitan dengan moralitas, keempat, hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara sedangkan moralitas didasarkan pada norma-norma moral yang melebihi para individu dan masyarakat.
Perbedaan Hukum dan Moral :
a.       Hukum cenderung eksplisit kedalam bentuk tulisan dan dijabarkan sangsinya bagi pelanggar hukum. Moral tidak dituangkan dalam bentuk tulisan.
b.      Hukum hanya membatasi pada tingkah laku yang bersifat lahiriah sedangkan moral mencakup perilaku lahiriah dan batiniah.
c.       Sangsi hukum dapat dipaksakan sementara sangsi moral tidak dapat dipaksakan, sangsi moral berupa rasa malu, tercemar, atau merasa berdosa.
Hukum didasarkan atas kehendak masyarakat/ Negara. Negara berfungsi mengesahkan keberadaan hukum sementaara moral didasarkan pada norma-norma moral yang melebihi dari individu dan masyarakat.  Masyarakat dapat mengubah moral yang melebihi dari individu dan masyarakat. Masyarakat dapat merubah hukum akan tetapi tidak akan pernah bisa merubah atau membatalkan suatu moral. Masalah moral tidak dapat diputuskan dengan suara terbanyak dan individu serta masyarakat harus mematuhi moral. Moral menilai hukum bukan sebaliknya. Misalnya hukum mengizinkan berjudi, akan tetapi moral mengatakan bahwa berjudi merupakan perbuatan yang buruk.[4]

D.    Hakikat Nilai Moral Dalam Kehidupan Manusia
1.       Nilai dan Moral Sebagai Materi Pendidikan
Terdapat beberapa bidang filsafat yang ada hubungannya dengan cara manusia mencari hakikat sesuatu, satu di antaranya adalah aksiologi (filsafat nilai) yang mempunyai dua kajian utama yakni estetika dan etika. Keduanya berbeda karena estetika berhubungan dengan keindahan sedangkan etika berhubungan dengan baik dan salah, namun karena manusia selalu berhubungan dengan masalah keindahan, baik, dan buruk bahkan dengan persoalan-persoalan layak atau tidaknya sesuatu, maka pembahasan etika dan estetika jauh melangkah ke depan meningkatkan kemampuannya untuk mengkaji persoalan nilai dan moral tersebut sebagaimana mestinya.

Jika persoalan etika dan estetika ini diperluas ke kawasan pribadi, maka muncullah persoalan apakah pihak lain atau orang lain dapat mencampuri urusan pribadi orang tersebut? Seperti halnya jika seseorang menyukai masakan China, apakah orang lain berhak menyangkal jika masakan China adalah masakan yang enak untuk disantap dan melarang orang tersebut untuk mengkonsumsinya? Mungkin itu hanya sebagian kecil persoalan ini, begitu kompleksnya persoalan nilai, maka pembahasan hanya dibatasiMenurut Bartens ada tiga jenis makna etika, yaitu:
1.      Kata etika bisa dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
2.      Etika berarti juga kumpulan asas atau nilai moral (kode etik).
3.      Etika mempunyai arti ilmu tentang yang baik dan yang buruk (filsafat moral).
Dalam bidang pendidikan, ketiga pengertian di atas menjadi materi bahasannya, oleh karena itu bukan hanya nilai moral individu yang dikaji, tetapi juga membahas kode-kode etik yang menjadi patokan individu dalam kehidupan sosisalnya, yang tentu saja karena manusia adalah makhluk sosial.
2.       Nilai Moral di Antara Pandangan Objektif dan Subjektif Manusia
Nilai erat hubungannya dengan manusia, dalam hal etika maupun estetika. Manusia sebagai makhluk yang bernilai akan memaknai nilai dalam dua konteks, pertama, akan memandang nilai sebagai sesuatu yang objektif, apabila dia memandang nilai itu ada meskipun tanpa ada yang menilainya. Kedua, memandang nilai sebagai sesuatu yang subjektif, artinya nilai sangat tergantung pada subjek yang menilainya.
Dua kategori nilai itu subjektif atau objektif:
Pertama, apakah objek itu memiliki nilai karena kita mendambakannya, atau kita mendambakannya karena objek itu memiliki nilai.
Kedua, apakah hasrat, kenikmatan, perhatian yang memberikan nilai pada objek, atau kita mengalami preferensi karena kenyataan bahwa objek tersebut memiliki nilai mendahului dan asing bagi reaksi psikologis badan organis kita.

3.       Nilai di Antara Kualitas Primer dan Kualitas Sekunder
Kualitas primer yaitu kualitas dasar yang tanpanya objek tidak dapat menjadi ada, sama seperi kebutuhan primer yang harus ada sebagai syarat hidup manusia, sedangkan kualitas sekunder merupakan kualitas yang dapat ditangkap oleh pancaindera seperti warna, rasa, bau, dan sebagainya, jadi kualitas sekunder seperti halnya kualitas sampingan yang memberikan nilai lebih terhadap sesuatu yang dijadikan objek penilaian kualitasnya.

Perbedaan antara kedua kualitas ini adalah pada keniscayaannya, kualitas primer harus ada dan tidak bisa ditawar lagi, sedangkan kualitas sekunder bagian eksistesi objek tetapi kehadirannya tergantung subjek penilai. Nilai bukan kualitas primer maupun sekunder sebab nilai tidak menambah atau memberi eksistensi objek. Nilai bukan sebuah keniscayaan bagi esensi objek. Nilai bukan benda atau unsur benda, melainkan sifat, kualitas, yang dimiliki objek tertentu yang dikatakan “baik”. Nilai milik semua objek, nilai tidaklah independen yakni tidak memiliki kesubstantifan.

4.       Metode Menemukan dan Hierarki Nilai dalam Pendidikan
Menilai berarti menimbang, yaitu kegiatan manusia menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, yang selanjutnya diambil sebuah keputusan, nilai memiliki polaritas dan hierarki, yaitu:
1.      Nilai menampilkan diri dalam aspek positif dan aspek negatif yang sesuai (polaritas) seperti baik dan buruk, keindahan dan kejelekan.
2.      Nilai tersusun secara hierarkis, yaitu hierarki urutan pentingnya.
Ada beberapa klasifikasi nilai yaitu klasifikasi nilai yang didasarkan atas pengakuan, objek yang dipermasalahkan, keuntungan yang diperoleh, tujuan yang akan dicapai, hubungan antara pengembangan nilai dengan keuntungan, dan hubungan yang dihasilkan nilai itu sendiri dengan hal lain yang lebih baik. Sedangkan Max Scheller berpendapat bahwa hierarki terdiri dari, nilai kenikmatan, kehidupan, kejiwaan, dan nilai kerohanian. yakni, nilai dasar, nilai instrumental, dan yang terakhir nilai praksis.[5]
Ø  Pengertian Nilai
Walaupun begitu banyaknya pakar yang mengemukakan pengertian nilai, namun ada yang telah disepakati dari semua pengertian itu bahwa nilai berhubungan dengan manusia, dan selanjutnya nilai itu penting. Pengertian nilai yang telah dikemukakan oleh setiap pakar pada dasarnya upaya memberikan pengertian secara holistik terhadap nilai, akan tetapi setiap orang tertarik pada bagian bagian yang “relatif belum tersentuh” oleh pemikir lain.
Definisi yang mengarah pada pereduksian nilai oleh status benda, terlihat pada pengertian nilai yang dikemukakan oleh John Dewney yakni, Value Is Object Of Social Interest, karena ia melihat nilai dari sudut kepentingannya.
Ø  Makna Nilai bagi Manusia
Nilai itu penting bagi manusia, apakah nilai itu dipandang dapat mendorong manusia karena dianggap berada dalam diri manusia atau nilai itu menarik manusia karena ada di luar manusia yaitu terdapat pada objek, sehingga nilai lebih dipandang sebagai kegiatan menilai. Nilai itu harus jelas, harus semakin diyakini oleh individu dan harus diaplikasikan dalam perbuatan.




BAB III
PENUTUP
Kesimpulan

Hukum Memiliki hubungan erat dengan moral karena sebuah hukum memerlukan moral. Sebaliknya moral juga membutuhkan hukum karena moral akan berada di awang-awang bila tidak diungkapkan dalam masyarakat secara eksplisit dalam bentuk hukum. Oleh karena itu, hukum bisa meningkatkan dampak moralitas. Hukum tidak akan berarti tanpa dijiwai moralitas, hukum akan kosong tanpa moralitas. Oleh karena itu kualitas hukum harus selalu diukur dengan norma moral dan perundang-undangan yang immoral harus diganti. Yang mengeksploitasi dan mengeksplorasi dunia ini adalah manusia. Karena kekuasaannya itulah maka manusia merupakan pusat atau titik sentral dari keseluruhan kegiatan kehidupan manusia di dunia ini. Dengan demikian manusia merupakan subjek dan bukan objek. Sebagai subjek manusia mempunyai kepentingan di dunia ini, mempunyai tuntutan yang diharapkan untuk dipenuhi atau dilaksanakan, mempunyai kebutuhan hidup.

Manusia sebagai makhluk yang bernilai akan memaknai nilai dalam dua konteks,pertama akan memandang nilai sebagai sesuatu yang objektif,apabila dia memandang nilai itu ada meskipun tanpa ada yang menilainya,bahkan memandang nilai telah ada sebelum adanya manusia sebagai penilai.Baik dan buruk,benar dan salah bukan hadir karena hasil persepsi dan penafsiran manusia,tetapi ada sebagai sesuatu yang ada dan menuntun manusia dalam kehidupannya.Pandangan kedua memandang nilai itu subjektif,artinya nilai sangat tergantung pada subjek yang menilainya.Jadi nilai memang tidak akan ada dan tidak akan hadir tanpa hadirnya penilai.





DAFTAR PUSTAKA

Winarno, S.Pd., M.Si Ilmu Sosial & Budaya Dasar. (Jakarta: Bina  Aksara.2003),hal.11-17

Drs. Harimanto. M.p.d. M.s.i. Ilmu Sosial Budaya Dasar. (Bmi Aksara.2009),hal 45-49

Moh. Mahfud MD. Politik Hukum Indonesia  (Jakarta Utara: PT GrajaGrafindo Paersada 2009),hal. 128-132

Htp.Plobemaika nilai moral/ Ilmu Sosial & Budaya Dasar.com



[1] Winarno S.pd.M. SI. Ilmu Sosial & Budaya Dasar (Jakarta:Bina Aksara 2003), hal. 11
[2] Moh. Mahfud MD. Politik Hukum Indonesia  (Jakarta Utara: PT GrajaGrafindo Paersada 2009),hal. 128
[3] Prof. Dr. Sudikno Mertokusuno, S.H Nilai Norma & Moral (Jakarta: Bina Aksara 20012), hal.70
[4] Drs. Harimanto M.P.D. Msi. Ilmu Sosial & Budaya Dasar (Jakarta: Bina Aksara 2009), hal 45
[5] Drs. Darma Wijaya S.p.d Ilmu Dan Budaya Dasar (Htp/Google.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar