PROBLEMATIKA
PEMBINAAN
NILAI MORAL
Di
S
U
S
U
N
Oleh :
Arcon Marsila Ismail
1111060046
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
SERAMBI MEKKAH
BANDA
ACEH 2014
KATA
PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kesehatan dan kesempatan kepada kita
semua sehingga pembuatan makalah ini bisa diselesaikan tepat pada waktunya.
Shalawat dan salam kita persembahkan kepada junjungan kita Muhammad SAW, oleh
karena beliaulah kita dapat mengenal ilmu pengetahuan dan memberantas
kebodohan.
Selanjutnya
ucapan terima kasih dan penghargaan pemakalah sampaikan kepada pembimbing kita dan
kepada seluruh sahabat-sahabat seperjuangan yang telah memabntu kami dalam menyelesaikan
makalah ini yang berjedul ‘ PROBLEMATIKA
PEMBINAAN NILAI MORAL’
Kami
menyadari berbagai kelemahan, kekurangan dan keterbatasan yang ada, sehingga
tetap terbuka kemungkinan terjadinya kekeliruan dan kekurangan disana sini
dalam penulisan dan penyajian makalah ini. Oleh Karena itu, dengan tangan
terbuka, seraya kasih, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
konstruktif dari para pembaca dalam rangka penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya,
kepada Allah jualah kami menyerahkan diri dan memohon taufik hidayah-Nya,
semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca. Amin.
Banda
Aceh.
Arcon
Marsila Ismail
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR............................................................................ i
DAFTAR
ISI.......................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang........................................................................................ 1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Problematika Pembinaan Nilai Moral.......................................... 2
B. Manusia Dan Hukum.................................................................. 3
C. Hubungan Hukum Dan Moral.................................................... 5
D. Hakikat Nilai Moral Dalam Kehidupan Manusia........................ 6
BAB III PENUTUP
Kesimpulan.............................................................................................. 10
DAFTAR
PUSATAKA.......................................................................... 11
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pendidikan pada hakikatnya adalah upaya
untuk menjadikan manusia berbudaya.Budaya dalam pengertian yang sangat luas
mencakup segala aspek kehidupan manusia, yang dimulai dari cara
berpikir,bertingkah laku sampai produk-produk berpikir manusia yang berwujud
dalam bentuk benda (materil)maupun dalam bentuk sistem nilai (in-
materil). Pergaulan antar umat di dunia yang semakin intensif akan melahirkan
budaya-budaya baru, baik berupa pencampuran budaya, penerimaan budaya oleh
salah satu pihak atau keduanya, dominasi budaya, atau munculnya budaya
baru.Keseluruhan proses ini tentu saja dipengaruhi oleh proses pendidikan di
masyarakat.
Pemunculan kebudayaan baru tidak sepenuhnya
memberikan efek positif terhadap perkembangan suatu bangsa, tetapi ada
juga yang berdampak negative. Untuk menghindari hal-hal negatif dari suatu
kebudayaan baru, diperlukan berbagai upaya untuk mengadakan saringan kebudayaan
yang dianggap paling tepat untuk diterapkan . Oleh karena , pemahaman terhadap
kebudayaan menjadi penting bagi seorang pendidik agar pendidik memahami secara
persis kebudayaan dan pengaruhnya terhadap perkembangan masyarakat
BAB II
PEMBAHASAN
A. Problematika Pembinaan Nilai Moral
§
Pengaruh Kehidupan
Keluarga dalam Pembinaan Nilai Moral
Persoalan merosotnya intensitas interaksi dalam keluarga, serta terputusnya komunikasi yang harmonis antara orang tua dengan anak, mengakibatkan merosotnya fungsi keluarga dalam pembinaan nilai moral anak. Keluarga bisa jadi tidak lagi menjadi tempat untuk memperjelas nilai yang
harus dipegang bahkan sebaliknya menambah kebingungan nilai bagi si anak.
§
Pengaruh Teman Sebaya
Terhadap Pembinaan Nilai Moral
Setiap orang yang menjadi teman
anak akan menampilkan kebiasaan yang dimilikinya, pengaruh pertemanan ini akan
berdampak positif jika isu dan kebiasaan teman itu positif juga, sebaliknya
akan berpengaruh negatif jika sikap dan tabiat yang ditampikan memang buruk,
jadi diperlukan pula pendampingan orang tua dalam tindakan anak-anaknya, terutama
bagi para orang tua yang memiliki anak yang masih di bawah umur.
§
Pengaruh Figur
Otoritas Terhadap Perkembangan Nilai Moral Individu
Orang dewasa mempunyai pemikiran
bahwa fungsi utama dalam menjalin hubungan dengan anak-anak adalah memberi tahu
sesuatu kepada mereka: memberi tahu apa yang harus mereka lakukan, kapan waktu
yang tepat untuk melakukannya, di mana harus dilakukan, seberapa sering harus
melakukan, dan juga kapan harus mengakhirinya. Itulah sebabnya seorang figur
otoritas (bisa juga seorang public figure) sangat berpengaruh dalam
perkembangan nilai moral.
§
Pengaruh Media
Komunikasi Terhadap Perkembangan Nilai Moral
Setiap orang berharap pentingnya
memerhatikan perkembangan nilai anak-anak. Oleh karena itu dalam media
komunikasi mutakhir tentu akan mengembangkan suatu pandangan hidup yang
terfokus sehingga memberikan stabilitas nilai pada anak. Namun ketika anak
dipenuhi oleh kebingungan nilai, maka institusi pendidikan perlu mengupayakan
jalan keluar bagi peserta didiknya dengan pendekatan klarifikasi nilai.
§
Pengaruh Otak atau
Berpikir Terhadap Perkembangan Nilai Moral
Pendidikan tentang nilai moral
yang menggunakan pendekatan berpikir dan lebih berorientasi pada upaya-upaya
untuk mengklarifikasi nilai moral sangat dimungkinkan bila melihat eratnya
hubungan antara berpikir dengan nilai itu sendiri, meskipun diakui bahwa ada
pendekatan lain dalam pendidikan nilai yang memiliki orientasi yang berbeda.
§
Pengaruh Informasi
Terhadap Perkembangan Nilai Moral
Munculnya berbagai informasi,
apalagi bila informasi itu sama kuatnya maka akan mempengaruhi disonansi
kognitif yang sama, misalnya saja pengaruh tuntutan teman sebaya dengan
tuntutan aturan keluarga dan aturan agama akan menjadi konflik internal pada
individu yang akhirnya akan menimbulkan kebingungan nilai bagi individu
tersebut.[1]
B.
Manusia Dan
Hukum
Hukum dalam masyarakat merupakan
tuntutan, mengingat bahwa kita tidak mungkin menggambarkan hidupnya manusia
tanpa atau di luar masyarakat. Maka manusia, masyarakat, dan hukum merupakan
pengertian yang tidak bisa dipisahkan. Untuk mencapai ketertiban dalam
masyarakat, diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar-manusia dalam
masyarakat. Kepastian ini bukan saja agar kehidupan masyarakat menjadi teratur
akan tetapi akan mempertegas lembaga-lembaga hukum mana yang
melaksanakannya.Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang
hidup (the living law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau
merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut.[2]
Manusia dan hukum adalah dua
entitas yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan dalam ilmu hukum, terdapat adagium
yang terkenal yang berbunyi: “Ubi societas ibi jus” (di mana ada masyarakat di
situ ada hukumnya). Artinya bahwa dalam setiap pembentukan suatu bangunan struktur
sosial yang bernama masyarakat, maka selalu akan dibutuhkan bahan yang bersifat
sebagai “semen perekat” atas berbagai komponen pembentuk dari masyarakat itu,
dan yang berfungsi sebagai “semen perekat” tersebut adalah hukum.
Untuk mewujudkan keteraturan,
maka mula-mula manusia membentuk suatu struktur tatanan (organisasi) di antara
dirinya yang dikenal dengan istilah tatanan sosial (social order) yang bernama:
masyarakat. Guna membangun dan
mempertahankan tatanan sosial masyarakat yang teratur ini, maka manusia
membutuhkan pranata pengatur yang terdiri dari dua hal: aturan (hukum) dan si
pengatur(kekuasaan).
Prof. Dr. Sudikno
Mertokusumo, S.H.
Di
dunia ini manusialah yang bekuasa.Yang mengeksploitasi dan mengeksplorasi dunia
ini adalah manusia. Karena kekuasaannya itulah maka manusia merupakan pusat
atau titik sentral dari keseluruhan kegiatan kehidupan manusia di dunia ini.
Dengan demikian manusia merupakan subjek dan bukan objek. Sebagai subjek
manusia mempunyai kepentingan di dunia ini, mempunyai tuntutan yang diharapkan
untuk dipenuhi atau dilaksanakan, mempunyai kebutuhan hidup.
Sejak
manusia dilahirkan sampai meninggal, sejak dulu sampai sekarang, bahkan diwaktu
mendatang, dimana-mana, yang mampu maupun yang tidak mampu, manussia selalu
mempunyai kepentingan, mempunyai tuntutan atau kebutuhan yang diharapkan untuk
dipenuhi. Sewaktu masih bayi manusia membutuhkan air susu ibu, pakaian,
kehangatan kasih sayang ibu, beranjak besar butuh bermain-main dengan
teman-temannya, kemudian memerlukan sekolah, selanjutnya membutuhkan pekerjaan,
pada saatnya nanti butuh kawin, sampai pada saat kematiannya ia berkepentingan
untuk dimakamkan. Manusia mempunyai kepentingan untuk hidup. Dalam kenyataanya
kepentingan-kepentingan manusia selama ini selalu diancam atau diganggu oleh
berbagai bahaya, yang merupakan kendala untuk dapat dilaksanakan atau
dipenuhinya harapannya.
Alam
sering mengganggu kepentingan manusia dalam bentuk gempa bumi, banjir, lumpur
panas, tsunami, tanah longsor, angin ribut. Binatang buas yang mengganggu
ketenangan hidup manusia seperti kawanan kera yang merusak panen, harimau yang
masuk pemukiman meresahkan penduduk. Tetapi gangguan atau bahaya terhadap
kepentingan manusia itu datangnya juga dari manusia sendiri: penipuan,
pencurian, tabrak lari, perselingkuhan,
perzinahan, penculikan, pembunuhan, kekerasan dan sebagainya. Oleh karena
kepentingan manusia selalu
diganggu oleh bahaya disekelilingnya,
maka manusia menginginkan adanya perlindungan terhadap
kepentingan-kepentingannya, jangan sampai selalu diganggu oleh pelbagai bahaya
tersebut. Maka kemudian terciptalah perlindungan kepentingan berbentuk kaedah
sosial termasuk di dalamnya kaedah hukum.
Kaedah sosial dengan aspek kehidupan pribadi yaitu kaedah
agama dan kaedah kesusilaan, sedangkan kaedah sosial dengan aspek kehidupan
antar pribadi adalah kaedah sopan santun dan kaedah hukum. Tujuan kaedah agama
dan kaedah kesusilaan adalah agar manusia menjadi sempurna, agar supaya tidak
ada manusia menjadi jahat. Kedua kaedah tersebut ditujukan kepada sikap batin
manusia sebagai individu. Kalau kaedah sama ditujukan kepada iman, maka kaedah
kesusilaan ditujukan kepada akhlak.[3]
C.
Hubungan Hukum Dan Moral
Hukum tidak akan berarti tanpa
dijiwai moralitas, hukum akan kosong tanpa moralitas. Oleh karena itu kualitas
hukum harus selalu diukur dengan norma moral dan perundang-undangan yang
immoral harus diganti. Meskipun hubungan hukum dan moral begitu erat, namun hukum dan moral tetap
berbeda, sebab dalam kenyataannya mungkin ada hukum yang bertentangan dengan
moral atau ada
undang-undang yang immoral, yang berarti terdapat ketidakcocokan antara hukum
dengan moral.
K. Bertens menyatakan ada
setidaknya empat perbedaan antara hukum dan moral, pertama, hukum lebih
dikodifikasikan daripada moralitas (hukum lebih dibukukan daripada moral),
kedua, meski hukum dan moral mengatur tingkah laku manusia, namun hukum
membatasi diri pada tingkah laku lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut juga
sikap bathin seseorang, ketiga, sanksi yang berkaitan dengan hukum berbeda
dengan sanksi yang berkaitan dengan moralitas, keempat, hukum didasarkan atas
kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara sedangkan moralitas
didasarkan pada norma-norma moral yang melebihi para individu dan masyarakat.
Perbedaan Hukum dan Moral :
a. Hukum
cenderung eksplisit kedalam bentuk tulisan dan dijabarkan sangsinya bagi
pelanggar hukum. Moral tidak dituangkan dalam bentuk tulisan.
b. Hukum
hanya membatasi pada tingkah laku yang bersifat lahiriah sedangkan moral
mencakup perilaku lahiriah dan batiniah.
c. Sangsi
hukum dapat dipaksakan sementara sangsi moral tidak dapat dipaksakan, sangsi
moral berupa rasa malu, tercemar, atau merasa berdosa.
Hukum didasarkan atas kehendak masyarakat/ Negara. Negara
berfungsi mengesahkan keberadaan hukum sementaara moral didasarkan pada
norma-norma moral yang melebihi dari individu dan masyarakat. Masyarakat dapat mengubah moral yang melebihi
dari individu dan masyarakat. Masyarakat dapat merubah hukum akan tetapi tidak
akan pernah bisa merubah atau membatalkan suatu moral. Masalah moral tidak
dapat diputuskan dengan suara terbanyak dan individu serta masyarakat harus
mematuhi moral. Moral menilai hukum bukan sebaliknya. Misalnya hukum
mengizinkan berjudi, akan tetapi moral mengatakan bahwa berjudi merupakan perbuatan
yang buruk.[4]
D.
Hakikat Nilai Moral Dalam
Kehidupan Manusia
1. Nilai
dan Moral Sebagai Materi Pendidikan
Terdapat beberapa bidang filsafat
yang ada hubungannya dengan cara manusia mencari hakikat sesuatu, satu di
antaranya adalah aksiologi (filsafat nilai) yang mempunyai dua kajian utama
yakni estetika dan etika. Keduanya berbeda karena estetika berhubungan dengan
keindahan sedangkan etika berhubungan dengan baik dan salah, namun karena
manusia selalu berhubungan dengan masalah keindahan, baik, dan buruk bahkan
dengan persoalan-persoalan layak atau tidaknya sesuatu, maka pembahasan etika
dan estetika jauh melangkah ke depan meningkatkan kemampuannya untuk mengkaji
persoalan nilai dan moral tersebut sebagaimana mestinya.
Jika persoalan etika dan estetika
ini diperluas ke kawasan pribadi, maka muncullah persoalan apakah pihak lain
atau orang lain dapat mencampuri urusan pribadi orang tersebut? Seperti halnya
jika seseorang menyukai masakan China, apakah orang lain berhak menyangkal jika
masakan China adalah masakan yang enak untuk disantap dan melarang orang
tersebut untuk mengkonsumsinya? Mungkin itu hanya sebagian kecil persoalan ini,
begitu kompleksnya persoalan nilai, maka pembahasan hanya dibatasi hanya pada
pembahasan etika saja. Menurut Bartens ada tiga jenis
makna etika, yaitu:
1. Kata
etika bisa dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan
bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
2. Etika
berarti juga kumpulan asas atau nilai moral (kode etik).
3. Etika
mempunyai arti ilmu tentang yang baik dan yang buruk (filsafat moral).
Dalam bidang pendidikan, ketiga pengertian di atas menjadi materi
bahasannya, oleh karena itu bukan hanya nilai moral individu yang dikaji,
tetapi juga membahas kode-kode etik yang menjadi patokan individu dalam
kehidupan sosisalnya, yang tentu saja karena manusia adalah makhluk sosial.
2.
Nilai Moral di Antara Pandangan
Objektif dan Subjektif Manusia
Nilai erat hubungannya dengan
manusia, dalam hal etika maupun estetika. Manusia sebagai makhluk yang bernilai
akan memaknai nilai dalam dua konteks, pertama, akan memandang nilai sebagai sesuatu yang objektif, apabila dia memandang
nilai itu ada meskipun tanpa ada yang menilainya. Kedua, memandang nilai
sebagai sesuatu yang subjektif, artinya nilai sangat tergantung pada subjek
yang menilainya.
Dua kategori nilai itu subjektif atau objektif:
Pertama, apakah
objek itu memiliki nilai karena kita mendambakannya, atau kita mendambakannya
karena objek itu memiliki nilai.
Kedua, apakah hasrat, kenikmatan,
perhatian yang memberikan nilai pada objek, atau kita mengalami preferensi
karena kenyataan bahwa objek tersebut memiliki nilai mendahului dan asing bagi
reaksi psikologis badan organis kita.
3.
Nilai di Antara
Kualitas Primer dan Kualitas Sekunder
Kualitas primer yaitu kualitas
dasar yang tanpanya objek tidak dapat menjadi ada, sama seperi kebutuhan primer
yang harus ada sebagai syarat hidup manusia, sedangkan kualitas sekunder
merupakan kualitas yang dapat ditangkap oleh pancaindera seperti warna, rasa,
bau, dan sebagainya, jadi kualitas sekunder seperti halnya kualitas sampingan
yang memberikan nilai lebih terhadap sesuatu yang dijadikan objek penilaian
kualitasnya.
Perbedaan antara kedua kualitas ini adalah pada
keniscayaannya, kualitas primer harus ada dan tidak bisa ditawar lagi,
sedangkan kualitas sekunder bagian eksistesi objek tetapi kehadirannya
tergantung subjek penilai. Nilai bukan kualitas primer maupun sekunder sebab
nilai tidak menambah atau memberi eksistensi objek. Nilai bukan sebuah keniscayaan
bagi esensi objek. Nilai bukan benda atau unsur benda, melainkan sifat,
kualitas, yang dimiliki objek tertentu yang dikatakan “baik”. Nilai milik semua
objek, nilai tidaklah independen yakni tidak memiliki kesubstantifan.
4.
Metode Menemukan dan Hierarki
Nilai dalam Pendidikan
Menilai berarti menimbang, yaitu
kegiatan manusia menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain, yang
selanjutnya diambil sebuah keputusan, nilai memiliki polaritas dan hierarki,
yaitu:
1. Nilai
menampilkan diri dalam aspek positif dan aspek negatif yang sesuai (polaritas)
seperti baik dan buruk, keindahan dan kejelekan.
2. Nilai
tersusun secara hierarkis, yaitu hierarki urutan pentingnya.
Ada beberapa klasifikasi nilai
yaitu klasifikasi nilai yang didasarkan atas pengakuan, objek yang
dipermasalahkan, keuntungan yang diperoleh, tujuan yang akan dicapai, hubungan
antara pengembangan nilai dengan keuntungan, dan hubungan yang dihasilkan nilai
itu sendiri dengan hal lain yang lebih baik. Sedangkan Max Scheller berpendapat
bahwa hierarki terdiri dari, nilai kenikmatan, kehidupan, kejiwaan, dan nilai
kerohanian. yakni, nilai dasar, nilai instrumental, dan yang terakhir nilai
praksis.[5]
Ø Pengertian Nilai
Walaupun begitu banyaknya pakar yang mengemukakan
pengertian nilai, namun ada yang telah disepakati dari semua pengertian itu
bahwa nilai berhubungan dengan manusia, dan selanjutnya nilai itu penting.
Pengertian nilai yang telah dikemukakan oleh setiap pakar pada dasarnya upaya
memberikan pengertian secara holistik terhadap nilai, akan tetapi setiap orang
tertarik pada bagian bagian yang “relatif belum tersentuh” oleh pemikir lain.
Definisi yang mengarah pada pereduksian nilai oleh
status benda, terlihat pada pengertian nilai yang dikemukakan oleh John Dewney
yakni, Value Is Object Of Social Interest, karena ia melihat nilai dari sudut
kepentingannya.
Ø Makna Nilai bagi
Manusia
Nilai itu penting
bagi manusia, apakah nilai itu dipandang dapat mendorong manusia karena
dianggap berada dalam diri manusia atau nilai itu menarik manusia karena ada di
luar manusia yaitu terdapat pada objek, sehingga nilai lebih dipandang sebagai
kegiatan menilai. Nilai itu harus
jelas, harus semakin diyakini oleh individu dan harus diaplikasikan dalam
perbuatan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hukum Memiliki hubungan erat dengan moral karena sebuah
hukum memerlukan moral. Sebaliknya moral juga membutuhkan hukum karena moral
akan berada di awang-awang bila tidak diungkapkan dalam masyarakat secara
eksplisit dalam bentuk hukum. Oleh karena itu, hukum bisa meningkatkan dampak
moralitas. Hukum tidak akan berarti tanpa
dijiwai moralitas, hukum akan kosong tanpa moralitas. Oleh karena itu kualitas hukum harus selalu diukur dengan norma moral dan
perundang-undangan yang immoral harus diganti. Yang mengeksploitasi dan
mengeksplorasi dunia ini adalah manusia. Karena kekuasaannya itulah maka
manusia merupakan pusat atau titik sentral dari keseluruhan kegiatan kehidupan
manusia di dunia ini. Dengan demikian manusia merupakan subjek dan bukan objek.
Sebagai subjek manusia mempunyai kepentingan di dunia ini, mempunyai tuntutan
yang diharapkan untuk dipenuhi atau dilaksanakan, mempunyai kebutuhan hidup.
Manusia sebagai makhluk yang bernilai akan memaknai
nilai dalam dua konteks,pertama akan memandang nilai sebagai sesuatu yang
objektif,apabila dia memandang nilai itu ada meskipun tanpa ada yang
menilainya,bahkan memandang nilai telah ada sebelum adanya manusia sebagai
penilai.Baik dan buruk,benar dan salah bukan hadir karena hasil persepsi dan
penafsiran manusia,tetapi ada sebagai sesuatu yang ada dan menuntun manusia
dalam kehidupannya.Pandangan kedua memandang nilai itu subjektif,artinya nilai
sangat tergantung pada subjek yang menilainya.Jadi nilai memang tidak akan ada
dan tidak akan hadir tanpa hadirnya penilai.
DAFTAR PUSTAKA
Winarno,
S.Pd., M.Si Ilmu Sosial & Budaya
Dasar. (Jakarta: Bina Aksara.2003),hal.11-17
Drs.
Harimanto. M.p.d. M.s.i. Ilmu Sosial
Budaya Dasar. (Bmi Aksara.2009),hal 45-49
Moh.
Mahfud MD. Politik Hukum Indonesia (Jakarta Utara: PT GrajaGrafindo Paersada
2009),hal. 128-132
Htp.Plobemaika nilai moral/ Ilmu
Sosial & Budaya Dasar.com
[1] Winarno S.pd.M. SI. Ilmu Sosial & Budaya Dasar (Jakarta:Bina
Aksara 2003), hal. 11
[2] Moh. Mahfud MD. Politik Hukum Indonesia (Jakarta Utara: PT GrajaGrafindo Paersada
2009),hal. 128
[3] Prof. Dr. Sudikno
Mertokusuno, S.H Nilai Norma & Moral (Jakarta:
Bina Aksara 20012), hal.70
[4] Drs. Harimanto M.P.D. Msi.
Ilmu Sosial & Budaya Dasar (Jakarta:
Bina Aksara 2009), hal 45
[5] Drs. Darma Wijaya S.p.d Ilmu Dan Budaya Dasar (Htp/Google.com)
membaca kunci keberhasilan
BalasHapus